Tulisan 3 / Kesehatan Mental
A. Deskripsi Cinta & Perkawinan
Artikel :
Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apa itu cinta? Bagaimana saya
bisa
menemukannya?
Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah
kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting.
Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya
kamu telah menemukan cinta" Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama,
dia
kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?"
Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan
tidak
boleh mundur kembali (berbalik)"
Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu
apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil
ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari
bahwasanya ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang
tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya"
Gurunya kemudian menjawab " Jadi ya itulah cinta"
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, "Apa itu perkawinan?
Bagaimana saya bisa menemukannya?"
Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur didepan sana.
Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang
satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi,
karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan"
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa
pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar / subur, dan tidak juga
terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?"
Plato pun menjawab, "sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah
menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong.
Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk
amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau
menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya"
Gurunyapun kemudian menjawab, "Dan ya itulah perkawinan"
Tanggapan :
Dalam artikel ini menjelaskan tentang filosofi tentang cinta dan perkawinan yang dengan cukup mudah dapat dipahami oleh pembaca. Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang serta ketertarikan pribadi seseorang. Namun masih banyak definisi-definisi lain tentang cinta tergantung dari sudut pandang individu. Perkawinan adalah proses dimana kita mencari dan memilih yang terbaik dari pilihan yang ada dan menjaga hubungan tersebut sampai maut yang memisahkan.
B. Bagaimana Cara Memilih Pasangan
Artikel :
Kriteria Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam
Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?
A. Kriteria Memilih Calon Istri
Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :
1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun.
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)
Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :
“Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)
Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.
Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :
a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.
b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.
3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.
Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis :
Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”
4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.
Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas.
Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya.
Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.
B. Kriteria Memilih Calon Suami
1. Islam.
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)
2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)
Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)
Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.
Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki :
“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”
Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.
Demikianlah ajaran Islam dalam memilih calon pasangan hidup. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Wallahu A’lam Bis Shawab.
( http://gugundesign.wordpress.com/2009/03/18/kriteria-memilih-pasangan-hidup-menurut-islam/ )
Tanggapan :
Dalam artikel ini dijabarkan kriteria memilih pasangan hidup menurut islam baik kriteria memilih calon istri maupun memilih calon suami. Yang paling diutamakan dan dianjurkan oleh agama islam dalam memilih calon pasangan hidup ialah dilihat dari agamanya. Hal ini dikarenakan suami akan menjadi seorang pemimpin keluarga dan mengemban tanggung jawab penuh untuk membimbing serta mengajari istri dan anak-anaknya, lalu istri akan menjadi calon ibu yang akan mendidik dan mengasuh anak-anaknya kelak, oleh karena itu pentingnya peran agama dalam mencari calon pasangan.
C. Seluk-beluk Hubungan Dalam Perkawinan
Artikel :
Tahap - Tahap Hubungan
* Tahap - Tahap Dalam Berhubugan
Kodrat manusia adalah mahluk
sosial. Artinya manusia selalu membutuhkan relasi dan hubungan dengan
sesama. Mustahil bagi sesorang manusia untuk hidup " normal " kalau
diatidak pernah berinteraksi dengan sesamanya. Yang harus disadari
adalah bahwa kadar keintiman berhubungan itu terdiri dari beberapa
tahap. Dari yang paling awal adalah tahap perkenalan sampai hal dalam
sebuah pernikahan.
1. Tahap Perkenalan
Tahap
ini merupakan yang paling minim tingkat keakrabannya. Tahap ini terjadi
mulai saling mengetahui satu dengan lainnya. Biasanya di tahap ini yang
di ketahui sangatlah umum seperti nama, alamat, nomor telepon, dan
pekerjaan. Tahap ini belum melibatkan emosi sama sekali. Karena masih
dalam saling kenal dan saling cari informasi. Tapi, tahap ini sangatlah karena merupakan pintu gerbang menuju tahap selanjutnya.
2. Tahap Pertemanan
Pribadi
yang telah saling kenal, mulai menjalin komunikasi dengan lebih dekat
lagi. Kontak telpon, sms, maupun pertemuan terjadi dengan segala cara.
Disaat ini timbul " sense of belonging " (rasa saling memiliki)
serta mempunya rasa solidaritas dan rasa senasib sepenanggungan mulai
kelihatan. Walaupun milik masih sebagai milik masing-masing pribadi,
namun keingginan untuk berbagi juga sudah mulai muncul dengan di sertai
emosi.
3. Tahap Persahabatan
Merasa
sudah cocok sehingga terjadi hubungan yang lebih akrab lagi. Ikatan
emosi menjadi lebih dekat, keakraban dan keintiman menjadi pacuan dalam
tahap ini. Dengan ditandai prilaku yang saling dukung, saling
mempengaruhi, dan saling membutuhkan menjadi kunci curhat yang di
lakukan.
4. Tahap Kepercayaan
Seseorang
mulai melibatkan sahabatnya dalam bagian-bagian penting dalam
kehidupannya. Seperti mengambil keputusan, atau ketika saling menghadapi
masalah. Karena mereka saling bergantung satu sama lain maka curhat
menjadi semakin sering.
5. Tahap Perhatian
Dua
pribadi yang berlainan jenis mulai merasakan ada perasaan yang berbeda.
Kalau tadinya pergaulan antar teman perhatian diberikan, sekarang
kepada seseorang yang menarik perhatiannya. Apa yang menjadi kesukaan
sidia menjadi kesukaannya juga.
6. Tahap Menyukai
Lebih
lanjut dari tahap perhatian, seseorang mulai menyukai dan ingin
memiliki sahabat yang jenis kelamin berbeda. Sehingga mulai
memperhatikan lebih dalam dan tumbuhnya rasa ingin memiliki pribadi yang
disukain. Gejala ini umum berada di dekat orang yang disukainnya dan
menimbulkan perasaan kikuk dan nervous yaitu perasaan gelisah, selalu memikirkan dia, dan rasa ingin selalu dekat dengan sosok probadi yang dia sukain.
7. Tahap Pendekatan
Ketika
rasa perhatian dan menyukai semakin kuat dorongannya, dimulailah sebuah
pendekatan. Dengan dimulainya seseorang memberikan pengharapan yang
berlebihan agar bisa terus berdekatan dengan pujaan hati. Mulai dari
tawaran untuk nonton bareng, makan, dan sampai mengantarkan pulang dan
pergi. Tahap ini biasanya di ramaikan dengan perantara ( mak comblang)
atau para pendukung yang membuat proses pendekatan menjadi lebih asyik.
8. Tahap Pacaran
Setelah
sukses melewati masa pendekatan dan mendapat lampu hijau, maka babak
selanjutnya memasuki tahap pacaran. Bahwa hubungan antar dua insan yang
berlainan ini sedikit banyaknya telah memiliki sebuah komitmen
yang intinya kesepakatan bahwa " kamu " hanya " milikku " dan " aku "
hanya " milikmu ", orang lain hanya mengontrak dan kita yang punya. Dan
ahkirnya timbulnya perasaan " posesif " ( perasaan memliki yang kuat )
pada pasangannya.
CATATAN : Secara sederhana tahap pacaran dapat terbagi menjadi tiga tahapan :
- Pre-date : masa awal pacaran
- Dating : tahap mengenal / penjajakan
- Engagement : masa pertunangan dan masa persiapan pernikahan
9. Tahap Pernikahan
Inilah
puncak dari segalanya, setelah melewati masa pacaran dengan baik.
Dengan saling mengikarkan janji suci untuk sehidup semati baik dalam
sehat maupun dalam sakit, dalam keadaan kaya atau miskin dan hanya maut
yang bisa memisahkan mereka. Sehingga ikrar suci pernikahan itu, mereka
bukan lagi dua tetapi telah menjadi satu. Tahap ini memulainya
sebuah babak baru, relasi yang ditandai dengan munculnya komitmen tanpa
syarat untuk saling mencintai dan memiliki.
Kalau tahap perkenalan merupakan
sebuah pintu gerbang menuju ke tingkat pacaran, maka tahap pernikahan
merupakan puncak dari tingkat hubungan paling akrab dan mulia yang
dilakukan.
CATATAN : Pernikahan adalah komitmen tanpa syarat untuk saling mencintai dan memiliki.
Tanggapan :
Dalam artikel ini dijelaskan tahapan - tahapan dari suatu hubungan mulai dari tahap perkenalan sampai tahap pernikahan. Karena menurut penulis hubungan itu perlu adanya tahapan - tahapan sebelum menuju tahapan yang paling puncak. Namun, dalam islam tidak ada istilah pacaran melainkan ta'aruf.
D. Penyesuaian & Pertumbuhan Dalam Perkawinan
Artikel :
Saran Penyesuaian Diri Dalam Hubungan Pernikahan
Saat baru pertama menikah biasanya sering terjadi hal-hal yang berbenturan karena saat baru menjalani kehidupan berumah tangga tentunya butuh penyesuaian satu sama lain karena masing masing memiliki kebiasaan dan pemikiran yang berbeda, agar satu sama lain saling mengerti dan memahami, berikut ada beberapa tips untuk anda:
1. Bersikap Terbuka Mengenai Uang
Menyimpan masalah sendiri ataui penghasilan tanpa memberitahu pasangan bisa menjadi malapetaka di kemudian hari. Sebuah penelitian melakukan survei terhadap pasangan bahagia yang baru menikah, apakah pasangan mereka jujur dan terbuka mengenai uang dan jawabannya pun berbeda jauh dengan pasangan yang tak bahagia. 8 dari 10 pasangan bahagia mengatakan bahwa mereka merasa bahwa pasangannya selalu memberi tahu semua hal mengenai keuangan, dibandingkan dengan pasangan lain yang tidak melakukannya. Pada intinya, tidak terbuka atau bahkan berbohong mengenai keuangan bisa menyebabkan masalah besar suatu hari nanti.
2. Mendiskusikan Masalah Kecil
Masalah kecil seperti, menaruh handuk basah di sembarang tempat atau tidak menutup toilet dengan baik, merupakan penyebab pertengkaran paling sering antara pasangan, terutama yang baru menikah. Namun tak sedikit pasangan yang merasa malas untuk mendiskusikan hal-hal kecil tersebut.
Menurut Pakar, hal itu justru bisa menjadi measalah besar di kemudian hari. Penelitian menemukan bahwa pasangan yang tidak membicarakan hal kecil yang menganggu, membiarkannya tumbuh menjadi amarah besar, lebih cenderung tidak bahagia dalam kehidupan pernikahan mereka. Oleh karena itu, apapun hal yang mengganggu Anda, selalu usahakan untuk mendiskusikannya dengan baik.
3. Tujukan Apresiasi Tiap Harinya
Penelitian Orbuch juga menunjukkan bahwa akumulasi perbuatan baik yang sederhana sangat penting untuk membangun ikatan perkawinan yang kuat. Apresiasi di sini bukan berarti Anda harus memberikan hadiah mahal, tapi buatlah pasangan merasa spesial dengan ciuman, pelukan atau masakan kesukaannya setelah ia melakukan sesuatu dengan benar. Semakin seseorang merasa dihargai, semakin besar pula keinginan untuk menunjukkan rasa cintanya itu.
4. Bersenang-senang Bersama
Menurut penelitian, pasangan menikah yang bahagia mendeskripsikan bahwa kehidupan mereka menyenangkan karena bisa melakukan hal apapun bersama pasangannya. Sebaliknya, pasangan yang jarang melakukan hal menyenangkan bersama, tidak merasa behagia.
Carilah kegiatan yang menyenangkan untuk dilakukan bersama. Hal seperti ini bisa mengurangi rutinitas pernikahan dan membuat ikatan diantara Anda berdua menjadi lebih kuat
5. Memperluas Pertemanan
Memiliki hubungan dekat dengan beberapa teman dan keluarga pasangan dapat beakibat baik untuk kehidupan pernikahan Anda. "Penelitian saya menemukan, bahwa suami, khususnya, lebih bahagia ketika istrinya memiliki hubungan yang baik dengan keluarga besar mereka. Begitu juga dengan pasangan yang memiliki banyak teman, jauh lebih bahagia ketimbang mereka yang seringkali dilarang hangout.
Mengapa memperluas hubungan itu penting? Karena semakin dekat Anda dengan keluarga dan sahabat, semakin banyak pula dukungan yang bisa didapat ketika Anda dan pasangan mengalami masalah rumah tangga dan itu membuat Anda jadi lebih mudah untuk mengatasinya.
Demikian tipsnya dalam menjalani kehidupan rumah tangga baru semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan anda, temukan info menarik tentang undangan pernikahan murah di jakarta
( http://domba-bunting.blogspot.com/2012/11/saran-penyesuaian-diri-dalam-hubungan.html )
Tanggapan :
Dalam artikel ini dijelaskan bahwa bagaimana cara menyesuaikan diri dalam pernikahan terutama bagi pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan. Hal-hal yang perlu dilakukan ialah harus saling bersikap terbuka terutama masalah keuangan dikarenakan akan dapat menimbulkan masalah yang besar di kemudian hari. Yang kedua, pasangan harus mendiskusikan masalah-masalah kecil karena suatu masalah bisa menjadi besar disebabkan kesalahpahaman dari masalah kecil. Yang ketiga, tunjukkan apresiasi atau penghargaan kepada pasangan, kita tidak harus memberikan barang yang berharga cukup berikan ciuman atau pelukan saja dapat membuat pasangan merasa sangat dihargai. Yang keempat, bersenang bersama-sama dengan pasangan dapat membuat meningkatkan keharmonisan dalam suatu hubungan pernikahan. Yang terakhir yaitu memperluas pertemanan, dalam hal ini membangun hubungan dekat dengan beberapa teman pasangan kita serta keluarga pasangan karena dapat berakibat baik untuk kehidupan pernikahan anda.
E. Perceraian & Pernikahan Kembali
Artikel :
CERAI DALAM ISLAM
Perceraian adalah suatu musibah dan bencana dalam sebuah rumah tangga jika dipergunakan secara asal-asalan. Sebaliknya jika digunakan dengan bijak perceraian adalah sebuah solusi yang penuh dengan kasih sayang tatkala seorang suami telah kehabisan segala cara untuk berdamai dengan istri, atau setelah istri kehabisan cara untuk berdamai dengan suaminya.
Sesungguhnya, terjadinya perceraian dalam prosentase yang tinggi di tengah-tengah komunitas kaum muslimin, atau penerapan yang keliru dalam kasus-kasus perceraian, tidak sepantasnya dijadikan alasan untuk mencela disyariatkannya perceraian dalam Islam. Karena perceraian sendiri adalah sebuah mashlahat (kebaikan) bagi sebuah rumah tangga pada saat kehidupan berkeluarga mustahil untuk tetap dipertahankan. Berubahnya kata-kata “cerai” sebagai permainan lisan sebagian laki-laki, atau menjadikannya sebagai hiburan dan pereda emosi adalah seperti penggunaan pisau. Jika pisau digunakan untuk mengupas atau membelah buah maka ini adalah penggunaan yang tepat, sedangkan bila pisau tersebut digunakan untuk menusuk orang maka ini adalah penggunaan yang tidak pada tempatnya. Apakah dikarenakan ada orang yang mempergunakan pisau tidak pada tempatnya lalu kita menyalahkan pisaunya?
Jika sepasang suami istri sudah gagal dalam menjalani hidup rumah tangga dan tidak ada lagi kestabilan dalam keluarga tersebut maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu mempertahankan kehidupan rumah tangga meski tidak lagi ada rasa cinta di antara keduanya, interaksi yang tidak menyenangkan, perpecahan dan pertikaian. Ataukah berpisah dengan bercerai baik-baik sehingga masing-masing bisa mejalani hidup sebagaimana yang dia inginkan.
Tidak diragukan lagi bahwa mempertahankan kehidupan rumah tangga dalam suasana yang tidak harmonis bukanlah solusi yang bijak, tidak sebagaimana persepsi sebagian orang yang menganggap hal tersebut lebih baik daripada perceraian. Bahkan perceraianlah solusi yang tepat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan menyiksa diri sendiri atau menyiksa orang lain dengan cara apapun. Tidak disangsikan lagi bahwa hubungan yang tidak harmonis merupakan salah satu bentuk menyiksa pihak lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hakekat dan urgensi perceraian ketika kehidupan rumah tangga tidak bisa lagi dipertahankan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
“Perceraian yang masih dapat dirujuk sebanyak dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau berpisah dengan cara yang baik pula.” (QS. al-Baqarah:229).
Perceraian dalam Islam yang diatur dengan berbagai ketentuan syar’i yang ada hanyalah digunakan sebagai solusi terakhir ketika mengembalikan kestabilan rumah tangga dinilai sebagai suatu hal yang tidak lagi memungkinkan.
Jika sepasang suami istri sudah gagal dalam menjalani hidup rumah tangga dan tidak ada lagi kestabilan dalam keluarga tersebut maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu mempertahankan kehidupan rumah tangga meski tidak lagi ada rasa cinta di antara keduanya, interaksi yang tidak menyenangkan, perpecahan dan pertikaian. Ataukah berpisah dengan bercerai baik-baik sehingga masing-masing bisa mejalani hidup sebagaimana yang dia inginkan.
Tidak diragukan lagi bahwa mempertahankan kehidupan rumah tangga dalam suasana yang tidak harmonis bukanlah solusi yang bijak, tidak sebagaimana persepsi sebagian orang yang menganggap hal tersebut lebih baik daripada perceraian. Bahkan perceraianlah solusi yang tepat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan menyiksa diri sendiri atau menyiksa orang lain dengan cara apapun. Tidak disangsikan lagi bahwa hubungan yang tidak harmonis merupakan salah satu bentuk menyiksa pihak lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hakekat dan urgensi perceraian ketika kehidupan rumah tangga tidak bisa lagi dipertahankan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
“Perceraian yang masih dapat dirujuk sebanyak dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau berpisah dengan cara yang baik pula.” (QS. al-Baqarah:229).
Perceraian dalam Islam yang diatur dengan berbagai ketentuan syar’i yang ada hanyalah digunakan sebagai solusi terakhir ketika mengembalikan kestabilan rumah tangga dinilai sebagai suatu hal yang tidak lagi memungkinkan.
Masyarakat barat yang melarang terjadinya perceraian dan menghina Islam karena membolehkan perceraian dan menganggap perceraian itu sebagai hal yang bertentangan dengan hak seorang wanita sudah mulai berpikir ulang. Mereka sudah membolehkan terjadinya perceraian, suatu hal yang tabu selama berabad-abad lamanya. Mulailah pintu perceraian dibuka lebar-lebar. Perceraian mereka laksanakan dengan pemberkatan gereja atau dengan persetujuan undang-undang Negara yang tidak terkait dengan otoritas gereja. Fakta dan angka perceraian yang sedemikian mencengangkan terjadi, suatu hal yang menyerupai imajinasi semata. Seorang pakar filsafat bernama Bernard Rossell dalam bukunya “Pernikahan dan Moralitas” menyerukan agar perceraian diperbolehkan apapun resikonya. Dia mengatakan, “Sesungguhnya Amerika telah mendapatkan solusi untuk permasalahan timbulnya ketidaksukaan antara suami istri dengan membolehkan adanya perceraian. Karena itu saya berharap agar Inggris mengikuti langkah Amerika dalam hal ini dengan memperbolehkan terjadinya perceraian dalam ruang lingkup yang lebih luas daripada kondisi saat ini yang sudah berlangsung.”
Perhatikanlah orang-orang yang mencela ajaran Islam dan kaum muslimin karena permasalahan perceraian yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah telah menimpakan bencana yang besar atas mereka berkenaan dengan hubungan suami istri. Pada akhirnya kondisi mereka mendorong untuk tidak mematuhi aturan gereja yang mencela Islam dan kaum muslimin karena permasalahan ini. Masyarakat barat lantas membuat undang-undang sipil yang membolehkan terjadinya perceraian pada saat ada salah satu pihak yang menginginkan. Jadi terjadinya sekulerisasi di dunia barat merupakan pukulan telak untuk orang-orang yang menghina Islam dan kaum muslimin, serta pengakuan secara tidak langsung terhadap manfaat besar dengan adanya aturan perceraian dalam Islam, disamping merupakan pernyataan terus terang bahwasanya mereka adalah orang-orang yang tidak berilmu.
Berbagai penelitian dan investigasi menunjukkan bahwa orang-orang barat pada saat ini menggampangkan praktek perceraian sesudah perceraian dilegalkan oleh undang-undang. Sampai-sampai penelitian di Prancis menunjukkan bahwa satu dari tiga pasangan suami istri (pasutri) Prancis pada akhirnya bercerai dan satu dari setiap pasutri Amerika, mereka bercerai. Lebih dari hal itu di sebagian Negara Eropa prosentase perceraian sampai 70%.
Dalam Islam, perceraian memiliki ketentuan-ketentuan khusus, syarat dan adab. Perceraian bukanlah tempat untuk bermain-main, bahkan perceraian adalah satu syariat bijaksana yang mengandung hikmah yang luar biasa. Oleh karena itu menganggap perceraian sebagai alasan unuk melimpahkan berbagai tuduhan dan sebab timbulnya berbagai masalah sosial adalah anggapan yang tidak beralasan. Perceraian sudah pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Terjadi pada Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy. Ada juga seorang wanita yang menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan minta kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam solusi agar berpisah dari suaminya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda kepadanya, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun yang menjadi mahar suamimu?” Ia jawab, “Ya”. Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian bersabda kepada sang suami, “Terima kembali kebun itu dan ceraikanlah istrimu.” Kejadian-kejadian di atas bukanlah ajakan untuk melakukan perceraian akan tetapi merupakan ajakan untuk mempergunakan perceraian secara tepat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum syar’i yang ada, sehingga diharapkan perceraian tidak terjadi secara serampangan dan tanpa memahami kekeliruan yang dilakukan banyak orang yang berkaitan dalam hal ini.
Praktek perceraian yang keliru
Kata-kata “cerai” demikian mudah terluncur dari lisan banyak para suami. Sesungguhnya perceraian bukanlah media untuk menghibur diri atau meredakan emosi sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian para suami. Mereka menjatuhkan cerai kepada istrinya disebabkan perselisihan atau emosi. Saat emosi berkobar-kobar dan tidak menemukan penenang selain kata-kata cerai atau ingin memaksakan pendapat pada istri, atau untuk memaksa istri melakukan perbuatan yang diinginkan suami, sebagian suami lantas mengucapkan kalimat cerai yang bersyarat. Misalnya ucapan, “Jika engkau melakukan demikian, maka engkau kucerai!” Atau ucapan, “Jika engkau pergi ke tempat ini maka engkau kucerai!” Sebagian orang mempergunakan kata-kata cerai tidak pada tempatnya, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hak cerai pada suami untuk mengakhiri pernikahan pada saat adanya kebutuhan, bukan karena mengikuti hawa nafsu atau karena terpancing emosi.
Prosentase perceraian yang tinggi di negeri kita merupakan bukti paling nyata adanya penggunaan hak cerai tidak pada tempatnya. Sebagian kasus perceraian terjadi karena masalah yang remeh dan sepele. Hal ini menunjukkan bahwa banyak suami menganggap kata-kata cerai sebagai media untuk mengancam istrinya. Apakah bisa diterima oleh akal sehat, seorang yang memutuskan ikatan yang kuat –yaitu ikatan pernikahan– disebabkan semata-mata kesalahan yang sepele? Meluncurnya kata-kata cerai karena permasalahan sepele merupakan bukti kurangnya rasa cinta yang ada di antara pasutri tersebut. Banyak rumah tangga yang kondisinya tak ubah sebagaimana rumah laba-laba yang mudah terkoyak disebabkan tiupan angin yang tidak kuat sekalipun.
Sesungguhnya Islam mewanti-wanti sikap meremehkan penggunaan kata-kata cerai. Perceraian merupakan solusi terakhir ketika timbul perpecahan di antara pasutri, sesudah berbagai upaya untuk mengharmoniskan kembali keduanya menemukan jalan buntu. Bahkan Islam melarang keras seorang wanita yang meminta cerai tanpa alasan yang kuat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Setiap wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti mengharamkannya untuk mendapatkan bau surga”.
Oleh karena itu seorang istri berkewajiban untuk lebih memahami masalah ini dan lebih bersabar dan lebih keras berusaha menjaga keberlangsungan hidup rumah tangga seberapapun besar tebusannya.
Sesungguhnya anggapan bahwa perceraian merupakan solusi yang ideal adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh banyak suami meskipun sesudah menikah untuk yang kedua kalinya. Sesungguhnya cerai merupakan titik awal penyimpangan dan pintu jurang kehancuran, karena perceraian itu menjadi faktor penyebab dekadensi moral, berbagai penyakit kejiwaan serta berakibat terlantarnya anak-anak. (Majalah Qiblati )
( http://rizkialiyah.blogspot.com/2013/01/cerai-dalam-islam.html )
Tanggapan :
Dalam artikel ini dijelaskan tentang perceraian dilihat dari sudut pandang agama islam. Perceraian adalah suatu yang halal tetapi sangat dibenci oleh ALLAH SWT. Oleh karena itu, sebagai pasangan suami istri berkewajiban menjaga pernikahan sampai maut yang memisahkan.
F. Single Life
Artikel :
Mengapa Banyak Orang Memilih Hidup Single?
Ainun Fika Muftiarini - Okezone
KEHIDUPAN di perkotaan
dengan hiruk pikuk aktivitas yang ada, tentu mengubah pandangan
seseorang banyak hal. Termasuk di antaranya komitmen untuk menjalin
hubungan dengan seseorang.
Mereka cenderung menikmati masa lajang atau bahkan enggan untuk berkomitmen secara serius. Lantas, apa alasan mereka sengaja tidak mencari pasangan? Berikut ulasannya, seperti dilansir Boldsky.
Takut patah hati
Saat seseorang bersama Anda dalam waktu yang lama, tentu ada ikatan yang kuat di dalamnya. Banyak orang takut kalau ikatan cinta tersebut malah membuatnya sakit hati dan mengakhiri hubungan yang ada.
Takut ditolak
Ada banyak pria dan wanita yang takut akan penolakan lebih dari apa pun. Mereka takut kalau pasangannya akan menolak mereka. Maka tak heran kalau mereka lebih memilih untuk tetap sendiri daripada ditinggalkan oleh pasangannya. Tentu saja, tidak bisa menerima penolakan merupakan tanda yang tak sehat. Sebab, itu artinya Anda memiliki pertahanan diri yang sangat rendah.
Mencari orang yang sempurna
Banyak orang yang percaya akan cinta sejati. Tapi mereka tidak yakin apakah pasangannya itu benar-benar tepat untuknya. Jadi, mereka merasa sulit untuk mencari sosok yang sempurna seperti impiannya.
Tanpa pamrih
Ada juga orang-orang yang takut kalau mereka ternyata tidak bisa setia kepada pasangan dan akhirnya justru melukai. Ketidakpercayaan diri tersebut yang akhirnya membuat seseorang tidak ingin terikat dalam sebuah hubungan yang serius. Mereka juga tidak ingin disalahkan seandainya ada sesuatu yang terjadi pada hubungan tersebut.
(tty)
( http://lifestyle.okezone.com/read/2012/12/11/197/730332/mengapa-banyak-orang-memilih-hidup-single )
Tanggapan :
Dalam artikel ini, dijelaskan bahwa seseorang yang cenderung memilih untuk hidup single adalah orang-orang yang tinggal di perkotaan. Hal ini dikarenakan rasa takut akan patah hati, rasa takut akan ditolak, keinginan untuk mendapatkan pasangan yang sempurna dan sesuai dengan kriterianya serta dihantui rasa tidak bisa menjaga kesetiaan apabila nanti telah memiliki pasangan.