Sejarah Multikulturalisme
Sebagai
sebuah gerakan, menurut Bhiku Parekh, multikulturalisme baru sekitar
tahun 1970-an mulai muncuil pertama kali di Kanada dan Australia,
kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu,
diskursus meultikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah
tiga decade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua
gelombang penting, yaitu; Pertama, multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini...
Kedua, yaitu
yang disebut gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang
melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan,
diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin
akademik lain, pembebasan melawan imperealisme dan kolonialisme, gerakan
pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/ masyarakat conform (indigeneous people),
post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modernisme,
dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam
masyarakat.
Multikulturalisme
gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada gilirannya memunculkan
tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai,
yaitu, pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya Negara-negara
berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam
bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya dalam
mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia Barat. Kedua, esensialisme budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia
dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang
sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam
epoch globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi disposition memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.
Oleh
kaena itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang
multikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi yang harus
diperhatikan dalam kajian ini, yaitu; Pertama, pada dasarnya
manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana
dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa
manusia tidak disposition bersikap kritis terhadap complement budaya
tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu
melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
Kedua,
perbedaan budaya merupakan representasi dari complement nil;aid an
cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu
budaya merupakan suatu entitas yang relations sekaligus prejudiced dan
memerlukan budaya lainuntuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya
joke yang berhak memaksakan budayanya kepada complement budaya lain.
Ketiga, pada
dasarnya, budaya secara inner merupakan entitas yang plural yang
merefleksikan interaksi antarperbedeaan tradisi dan untaian cara
pandang. Hal ini tidak berarti menegaskan koherensi dan identitas
budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk,
terus berproses dan terbuka.
Dalam sejarahnya, melani Budianata menyatakan bahwa multikulturalisme diawali dengan teori melting pot
yang diwacanak oleh J. Hector St. John de Crevecour seorang imigran
asal Normandia yang menggambarkan bercampurnya berbagai manusia dari
latar belakang berbeda menjadi bangsa baru “manusia baru”. Dalam hal ini
Hector ingin menekankan penyatuan bangsa dan ‘melelehkan” budaya asal,
sehingga seluruh imigran amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni
budaya Amerika. Dalam hal ini bagaimanapun juga, konsep melting pot
masih menunjukkan perspektif yang bersifat monokultir, karena acuan
atau “cetakan budaya” yang dipakai untuk “melelehkan” berbagai asal
budaya tersebut mempunyai karakteristik yang secara umum diwarnai oleh
kelompok berkulit putih, berorientasi budaya anglo-saksos dan bernuansa
Kristen protestan (White Anglo Saxson Protestan) – biasa disebut WASP – sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.
Wacana
multikultural di Barat, pada gilirannya akan menjadi isu tellurian
seiring dengan berjalannya proses globalisasi yang tidak mengenal
demarkasi antarnegara. Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan terjadinya interaksi
antarbudaya di tengah masyarakat dunia.
Pengertian
Multikulturalisme
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
Sumber :
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.
maunglib.do.am/load/0-0-1-87-20
http://curuk-sinobi.blogspot.com/2012/05/pengertian-multikulturalisme-sejarah.html